SERANG, KNO – Ifan dan Puput mungkin tidak pernah menyangka akan merasakan hidup yang begitu sulit pasca menikah 5 tahun lalu. Mengalami hidup kurang harmonis dengan keluarga orang tuanya, dagangannya bangkrut, terkena PHK dari tempat kerja karena Covid-19, hingga akhirnya mereka memutuskan tinggal di bantaran muara sungai dengan rumah bilik hanya berlapis terpal, yang bisa disebut dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
Kondisi keluarga kecil dua sejoli ini nampak tetap tegar, meski harus bertahan hidup di Gubuk yang menumpang di lahan milik orang lain. Ternyata masih ada warga yang kurang beruntung hidup di tengah mewahnya Pariwisata Anyer dan Geliat Industrialisasi di wilayah tetangga Kota “Dollar” Cilegon.
Tim mendapati dan menemukan gubuk dan kehidupan keluarga Ifan dan Puput yang berlokasi di Kampung Cempaka, Desa Anyer, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Rabu (26/5/2021) sore ini.
Di momen ramainya liburan dan wisata Anyer yang menyebabkan kondisi macet jalanan pada sore ini, kami menyempatkan berbincang dengan Ifan dan Puput beserta buah hatinya adik bernama Sultan yang baru berusia 3 tahun.
CERITA SELENGKAPNYA….
Di sore yang cukup cerah, dengan cuaca yang cukup bersahabat, Rabu (26/5/2021), saya beranjak ke suatu tempat untuk menemui sebuah keluarga kecil yang kabarnya hidup mengasingkan diri, di tengah hiruk pikuk ramainya wisata dan geliat industri di Kawasan Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang.
Kedatangan kami, sore ini sekitar Pukul 16.30 WIB, berbekal informasi dari media sosial. Saya masuk dari gang sebelah Kantor Unit Bank BRI di Anyer, tepatnya Kampung Cempaka, Desa Anyer.
Kami berjalan menuju lokasi Lahan Urugan Pantai tepatnya di belakang Toko Bangunan Sampoerna. Untuk masuk ke lokasi ujung muara Kali Anyer ini, berjarak sekitar 300 meter dan hanya ada jalan tanah untuk kendaraan motor atau pejalan kaki, yang biasanya jadi lokasi favorit warga sekitar untuk memancing ikan.
Beberapa menit perjalanan, tibalah kami di Ujung Muara Kali Anyer. Dengan sedikit melirik kanan-kiri di pesisir pantai, bantaran muara kali, kami coba mencocokan bangunan yang tampak di Medsos tidak seperti rumah, lebih tepatnya hanya seperti saung kecil atau gubuk yang ditutupi terpal.
Di tengah lapangan Urugan yang cukup luas, di ujung lahan itu persis di sisi muara kami melihat sebuah bangunan yang sesuai dengan informasi yang kami dapatkan di media sosial.
Setelah tiba, kami langsung turun dari kendaraan motor. Di sekitar muara dan di sekeliling pesisir pantai yang cukup jauh dari pemukiman warga. Kami melihat banyak masyarakat pesisir yang sedang menjaring dan memancing ikan.
Tepatnya di sekitar ujung muara beberapa meter tempat kami menyandarkan motor, terdapat sebuah tempat yang lebih tepat mungkin di sebut sebuah saung/gubuk yang hanya berlapis terpal bukan rumah layak huni yang semestinya.
Dari kejauhan nampak seorang perempuan dengan anak laki-laki berusia 3 tahunan sedang mencuci piring.
“Assalamualaikum,” ucapan salam kami menyapa, sesampainya kami di depan saung tempat tinggalnya Ifan bersama istri dan anaknya.
Dari kejauhan istrinya yang sedang mencuci piring menyaut.
“Waalaikumsalam pak.”
Istri Ifan bernama Puput, dengan tergesa langsung menghampiri kami dengan muka yang masih heran, dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahunan, yang bernama Sultan. Kemudian ia langsung menyuruh kami untuk duduk di kursi dari pelepah pohon-pohon kelapa yang tak beraturan.
“Sedang apa bu?” Kami bertanya.
“Oh sedang mencuci piring pak,” sahut si ibu muda ini.
“Ada bapaknya Bu?”
Kami kembali menanyainya.
“Oh bapak ada, sedang istirahat, sebentar saya panggilkan dulu,” timpal wanita bernama Puput lagi.
Beberapa saat kemudian nampak seorang laki-laki muda berusia 30 tahunan keluar dari balik bilik terpal yang nampaknya dijadikan sebuah kamar.
“Aih ada tamu, punten tempatnya berantakan,” ucap Ifan dengan nada yang sopan ia menghampiri, lalu kami bersalaman dan duduk.
Kemudian dengan bergegas istrinya membawakan segelas air putih untuk kami. Setelah kami berkenalan perbincangan pun dimulai.
Laki-laki muda itu bernama Ifan, dan langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupannya.
“Saya tinggal disini sudah 3 bulan, dulunya saya dengan istri saya ngontrak, kami dulu bekerja di sebuah proyek, namun karena pandemi corona saya di PHK,” ceritanya mengalir begitu saja, saat kami coba bertanya-tanya.
Pria muda ini sebenarnya bukan warga di wilayah itu, keluarga orang tua Ifan tinggal di Kampung Cikeuyeup, Desa Mekarsari. Masih di wilayah Kecamatan Anyer juga.
Ifan dengan Puput awalnya dipertemukan di Bogor, saat mereka berdua merantau kerja di kota itu beberapa tahun lalu. Setelah menikah, mereka berdua memilih pulang ke daerah keluarga suami di Anyer dan menjalani usaha dagang.
Ifan dan Puput sempat berdagang nasi goreng dengan modal usaha dari uang hasil kerjanya di Bogor. Namun sayang usahanya bangkrut karena banyak diutangi pekerja proyek yang tak tetap.
“Pernah dagang, tapi modalnya habis dihutangin sama pelanggan,” lanjut cerita Ifan.
Awalnya mereka tinggal dengan keluarga, kemudian mengontrak, dan karena tidak mampu bayar lagi akhirnya memutuskan untuk pindah ke gubuk tersebut.
“Dulunya tempat ini semak belukar. Namun karena saya bersihkan, ya seperti ini sekarang sudah mulai rapih. Sambil saya juga menanam singkong, ini sudah mulai besar-besar singkongnya,” ungkapnya dengan nada yang sedikit lirih.
Ketika kami menanyai perihal kenapa tidak balik lagi tinggal di rumahnya atau di rumah mertuanya, ia mengaku tidak bisa tinggal di rumahnya karena pernikahaannnya tidak direstui keluarga ibu tiri dari Ifan.
“Ibu tidak cocok dengan istri saya, lebih baik kami hidup mandiri di luar saja,” ungkap pria yang mengaku berpendidikan hingga SMA ini.
Dia juga tidak mau tinggal di rumah mertuanya karena malu jika tidak bekerja. Puput, istri Ifan ini merupakan wanita yang berasal dari Lampung.
Ketika kami singgung darimana mereka mendapatkan makan untuk menghidupi keluarganya setiap hari saat ini, Ifan mengaku mendapatkan dari warga yang baik hati mengirimi makanan untuknya, dan kadang dari kerja serabutan ketika warga di sekitarnya meminta bantuan.
Bahkan pernah satu waktu keluarga kecil ini tidak punya makanan. Kadangkala jika tidak ada sama sekali, Ifan dan keluarganya hanya memakan singkong yang ia tanam.
“Pernah dua hari gak ada makanan,”
“Tapi banyak warga di sini yang baik hati biasanya mengantarkan makanan untuk kami. Kadang juga saya diminta bantu-bantu, seperti mengambilkan kayu. Dan kadang jika tidak ada sama sekali, kami makan dengan singkong ini yang kami tanam,” ungkapnya menceritakan kepada kami bagaimana ia survive dengan kehidupannya.
Sementara untuk mandi keluarga Ifan ini pergi ke mushola, di perkampungan warga Cempaka, yang jaraknya sekitar 300 meter. Untuk mencuci pakaian dan piring, karena gubuknya di pinggir muara, Puput sang istri tinggal turun ke air yang ada persis di sebelah gubuknya itu.
Setelah hampir satu jam kami berbincang dan beramah tamah dengan Ifan dan keluarga kecilnya. Waktunya menjelang magrib dan langit mulai gelap.
Kami melihat tidak ada penerangan di gubuk keluarga itu, karena lahan semak belukar itu memang tidak ada aliran listrik. Ifan mengaku membuat penerangan dengan menyalakan lilin di dalam gubuk.
“Kalau biar terang sekitar gubuk, ya kami bakar-bakaran kayu dan ranting pohon,”
Karena lahan kosong yang dulunya semak belukar, dan juga di bantaran muara kali, Ifan mengaku kerap menemukan ular besar dan juga binatang liar. Karenanya jika malam hari, ayah dari Sultan ini mengaku selalu terjaga tidak tidur untuk memberi rasa aman kepada istri dan anaknya.
“Malam disini memang gelap, tapi ada saja yang mancing di pinggir muara. Yang bikin khawatir masih banyak ular dan binatang liar,” tuturnya lagi.
Dengan perasaan terenyuh dan penuh tanya, bagaimana di tengah mewahnya hotel-hotel wisata di Anyer dan deretan pabrik kimia yang bertetangga dengan Anyer, masih ada saja masyarakat yang belum hidup layak dan menemukan solusi untuk masa depan mereka.
Kami pun beranjak pulang dengan kisah Ifan yang begitu menambah ironi negeri ini. Kisah hidup sebuah keluarga kecil ini menjadi hikmah tersendiri di tengah segala himpitan ekonomi yang makin mencekik serta diperparah dengan adanya pandemi. (*/Fakta Banten)