
KISNEWSONLINE – Forum tingkat tinggi G20 bukan saja terfokus pada menamaikan konflik Rusia-Ukraina. Musyawarah negara-negara berpengaruh itu juga menghasilkan Bali Compendium atau arah kebijakan strategis ke depan menyangkut perputaran ekonomi global. Salah satunya hilirisasi ekspor Nikel. Target tercapainya ekonomi hijau nampaknya akan sangat bergantung pada kondisi kesanggupan kita. Apalagi Indonesia pernah ditentang WTO akibat menghentikan ekspor Nikel dalam bentul biji murni. Artinya ini kesempatan emas buat Indonesia mengambil celah menaikkan daya tawar kita di mata dunia.
G20 bidang energi mengkhususkan status sumber daya alam sebagai prioritas dalam menyelamatkan dunia dari emisi. Nikel dianggap salah tatu unsur yang dapat mengurangi beban produksi energi fosil lainnya, lewat kampanye mobil listrik. Bersandar pada temuan International Energy Agency (IEA) berjudul Southeast Asia Energy Outlook 2022 bahwa permintaan bahan baku Nikel ke depan akan naik 20 kali lipat dengan rentang waktu 2020 sampai 2040. Hitungan prediksi keseluruhan penjualan Nikel di Asia Tenggara sampai tahun 2050 bisa mencapai 40,8 miliar USD.
Memiliki kapasitas cadangan Nikel terbesar di dunia yakni 52% dari keseluruhan cadangan Nikel global pastinya akan menggoda negara maju menjalin diplomasi dengan Indonesia. Termasuk berlomba membangun smelter sebagai saluran hilirisasi Nikel. Bayangkan saja, fakta bahwa produksi olahan nikel di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Kementerian ESDM bahkan berencana meningkatkan kembali produksi olahan Nikel mencapai 2,58 juta ton pada 2022.
Pembangunan smelter tentu tidaklah mudah. Beban pendanaan proyek besar umumnya harus mempunyai equity sebesar 30-40% dari modal sendiri, sedangkan sisanya dari pinjaman bank. Tapi ingat, manajemen risiko bank juga membutuhkan persyaratan yang ketat dan tidak sedikit. Kehadiran investor harus hati-hati serta pertu petunjuk khusus untuk memberi dukungan yang sangat besar dan tidak memberatkan para investor.
Presiden Jokowi sebelumnya telah meresmikan smelter yang dapat mengolah bijih nikel menjadi feronikel sehingga nilai tambah nikel meningkat 14 kali lipat. Bahkan, jika smelter itu juga memproduksi bijih nikel menjadi stainless steel, maka kemungkinan nilai tambah meningkat hingga 19 kali lipat. Pertanyaan selanjutnya, apakah besaran produksi itu akan membawa kesejahteran?
Kemaslahatan Ekonomi
Tawaran dunia akan kembali lagi pada Indonesia. Kita bisa lupakan dulu kegagalan investasi Elon Musk dan Tesla-nya itu yang lebih memili Kaledonia Baru dan Australia untuk bahan baterai tenaga listriknya. Kita harusnya berpikir apakah kehadiran pabrik skala besar dengan postur teknologi tinggi di dalamnya akan bersamaan dengan kesanggupan SDM kita.
Pengolahan Nikel akan menjadi tambatan tali bagi insan ilmuan dan akademisi kampus kita untuk ikut serta membangun infratsruktur pengembangan kendaraan listrik. Kita tidak boleh berhenti sebagai pedagang, namun harus mampu sebagai produsen. Kapasitas cadangan kita sudah lebih dari cukup menggerakan kebutuhan mobil listrik dunia.
Capaian China harusnya memotivasi itu, mereka menciptakan mobil listrik merek NIO yang dianggap dapat menjegal konsumsi mobil listrik Tesla. Beberapa tahun ke depan, perusahaan rintisan baru terkait kendaraan listrik harus pula dilahirkan. Tidak hanya satu, dua, tetapi belasan, bahkan puluhan, perusahaan yang ambil peranan membangun ekosistem kendaraan listrik.
Kebermanfaatan Nikel harus berbagi rata dengan tujuan jangka panjang. Maka perlu hindari semacam penguasaan perusahaan secara monopolistik. Kebiasaan semacam ini akan meruntuhkan pada inovasi anak muda untuk memikirkan konsep apa saja dari kebermanfataan Nikel. Kue pengembangan kendaraan listrik jangan sekadar dinikmati badan usaha milik negara dan perusahaan multinasional raksasa. Siapa pun seharusnya dapat ikut berperan aktif membangun ataupun menikmati saat populasi kendaraan listrik terus bertumbuh.
Kehati-hatian juga harus tercermin dari dampak lingkungan. Berapapun pendapatan masuk pada kas negara maupun per-kapita, tidak sebanding jika eksplorasi pertambangan Nikel justru malah destruktif. Lagi pula, pembukaan lahan baru eksplorasi membutuhkan lahan tidak sedikit.
Sebagai perbandingan, Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) Sulawesi Selatan saja setidaknya membutuhkan area seluas 3.000 hektare. Di kawasan industri tersebut terdapat pusat pengolahan atau smelter bijih nikel milik PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia mengubah sebagian wilayah meliputi Desa Papan Loe, Borong Loe, dan Baruga.
Kehati-hatian itu merupakan gambaran mawas diri yang tidak berlebihan. Mengingat dalam kaca mata sejarah panjang ekonomi kita sejak tahan 1967, sumber daya mineral kita telah dijadikan objek untuk dibagi dan kemudian dikuasai hak ekplorasinya. Bahkan kala itu, ruang Istana Presiden Soekarno sudah hilir mudik pengusaha dari korporasi raksasa asing meminta konsesi eksplorasi dan eksplotrasi SDA kita.
Hampir sama dengan cita-cita Bung Karno, bahwa lebih baik pengelolaan SDA kita dijadikan aset anak negeri yang memberikan manfaat lebih besar. Banyak anak muda kala itu dikirim ke luar negeri sekolah dengan beasiswa di universitas-universitas di negara mereka. Kita tidak kekurangan ahli untuk menghadirkan inovasi dari ahli teknik dan tekonologi kita. Apakah kita lupa, bahwa di tahun 1967 lalu saja, sudah sangat banyak insinyur di segala bidang, termasuk geologi lulusan universitas terbaik di seluruh dunia, ditambah ITB yang sejak era penjajahan. Kini, tinggal bagaimana kita mengaktualisasikan lebih jauh.